Tuesday, February 26, 2013

Montase


Title : Montase
Author : Windry Ramadhina
Publisher : Gagas Media
Pages : 357
Rate : 5/5


Aku berharap tak pernah bertemu denganmu. Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunanku. Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.

Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu. Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.

Tapi...
kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa. Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai... dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yang lebih konyol lagi, aku buru-buru mengangkat si Babe setinggi wajahku, entah kapan kamera itu kukeluarkan dari ransel, lalu membidik Haru Enomoto. Pada detik berikutnya, aku mulai merekam gadis aneh itu tanpa sebab seperti orang yang terkena guna-guna.
Rayyi Karnaya adalah mahasiswa fakultas film dan televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang juga anak salah satu produser ternama Indonesia yang sedang naik daun dengan film-film box office nya, Irianto Karnaya. Rayyi menjalani masa kuliahnya dengan tiga teman akrabnya; Sube, Andre, dan Bev. Sube, si bule Makassar yang begitu memuja Bev - yang dianugerahi wajah sekelas Natalie Portman. Andre, pria kurus dengan rambut gondrong dan ekspresi mukanya yang selalu datar. Bev, satu-satunya wanita diantara mereka yang masih menggunakan kewarasannya dalam berpakaian dibandingkan dengan makhluk penghuni IKJ lainnya. Menurut kegilaan Sube pada serial televisi jepang yang populer pada awal tahun 80 an, mereka ber-empat adalah Goggle V - Pahlawan bertopeng pembela kebenaran. Andre adalah Goggle Blue yang pendiam, Goggle Pink disandang oleh Bev, Goggle Black - sang begundal untuk Rayyi dan Sube menganggap kalau dirinya adalah Goggle Red, sang pemimpin. Mereka kekurangan satu lagi yaitu Goggle Yellow, si badut.




Rayyi begitu mencintai dunia perfilman khususnya film dokumenter. Ia sangat tergila-gila dengan film dokumenter berjudul The Man With A Movie Camera karya Dziga Vertov. Orang pertama yang mengenalkannya pada film itu adalah Sang Mama yang sudah tiada. Tinggal ia dan Papanya yang keras kepala, perfeksionis dan berkuasa penuh atas hidup Rayyi. Rayyi dikuliahkan dalam peminatan produksi bukan karena keinginan pribadinya, tapi karena keinginan papanya agar Rayyi bisa menjadi produser yang membuat banyak film box office seperti dirinya. Namun, Rayyi menganggap kalau semua film itu adalah film sampah yang tidak layak di tonton. Di tengah kekesalan Rayyi karena mengalami kekalahan dalam Greenpeace - festival film dokumenter berskala nasional yang sedang digelar di IKJ, ia begitu penasaran dengan film yang telah mengalahkan film dokumenter buatannya. Maka ia menonton film-film pemenang Greenpeace dan melihat gadis kepala angin yang begitu bersemangat memperkenalkan karyanya kepada para tamu. Ya, dialah Haru Enomoto, mahasiswa Tokyo Zokei University yang dikirum untuk mengikuti studi banding di IKJ selama dua semester.

Film dokumenter milik Haru Enomoto hanyalah tentang kehidupan Sakura, bunga merah muda dari Jepang. Dari sakura saat masih kuncup, mengembang, mekar dan berguguran. Rayyi tidak melihat ada yang menarik dari dokumentasi kehidupan Sakura dibandingkan dengan film dokumenter miliknya. Film dokumenter tentang kehidupan sekelompok pemain gamelan yang menurutnya lebih baik. Apalagi film buatan Haru hanya dibuat dengan kamara Lomokino - kamera mainan, katanya.

Rayyi bertemu lagi dengan Haru di kelas Dokumenter IV dimana ia hadir sebagai mahasiswa penyusup karena ingin mengikuti pelajaran dari Samuel Hardi, Sineas berbakat se-Asia untuk film dokumenter. Rayyi, Sube, Andre dan Bev. Dari sinilah hubungan Rayyi dan Haru berkembang. Rayyi kehabisan ide untuk mengerjakan tugas pertamanya di kelas Samuel Hardi, hingga Andre dengan ekspresinya yang super datar menunjuk Haru untuk dijadikan idenya. Setelah berpikir, Rayyi pun setuju dan Haru mengiyakan permintaan Rayyi. Semakin lama, hubungan mereka berdua semakin dekat. Haru kemudian menjadi anggota Goggle ke V- si Goggle Yellow setelah dinobatkan oleh Sube karena ia merasa mendapatkan teman yang asik untuk berbagi cerita tentang Goggle V karena kecintaan keduanya pada film kartun legendaris tersebut.

"Rayyi, kalau kau menyukai film dokumenter, jangan bersikap setengah-setengah."  Aku melotot mendengar ucapannya. Kepalaku panas secara tiba-tiba seperti hendak meledak...
Samuel Hardi menawarkan Rayyi dan Haru untuk mengikuti kontes film dokumenter dalam suatu ajang internasional di Amsterdam. Bev yang sedang dekat dengan sang sineas mendorong Rayyi untuk ikut serta dalam ajang tersebut. Namun, karena Ayahnya yang tak pernah menghendakinya menggeluti dunia film dokumenter membuat Rayyi ragu dan berpikir ulang. Hingga perkataan Haru yang sepertinya santai menyulut emosi Rayyi dan memutuskannya untuk mengikuti ajang lomba itu. Akibat kesibukannya mempersiapkan film dokumenter untuk perlombaan itu kuliah Rayyi di peminatan produksi terbengkalai. Saat ujian tengah semester yang mengharuskan ia mempresentasikan hasil kerjanya dan akan dinilai oleh sineas ternama yang celakanya, salah satu dari mereka adalah teman papanya. Karena persiapan yang tidak maksimal, hasil kerja Rayyi malah menjadi bahan ejekan sineas itu dan membandingkan Rayyi dengan papanya.

Dari sinilah kekacauan hidup Rayyi dimulai. Ditambah lagi dengan suatu hal yang terjadi pada Haru dan membuatnya tercengang. Yang ia sadari, Haru bukan saja sudah menjadi penyemangatnya, tetapi juga bagian dari dirinya. Lalu, bagaimana dengan hubungannya dan Haru? Bagaimana dengan papanya saat mengetahui kalau kuliah anak yang dibanggakannya tak sesuai dengan harapannya?
'Sakura adalah ciri kehidupan yang tidak abadi.'

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Okee,
Ini adalah novel ke tiga Mbak Windry yang saya baca. Waktu tau kalo Mbak Windry mau realese novel baru, saya langsung ngincer novelnya. Nggak perlu banyak alasan, karena karya Mbak Windry nggak pernah mengecewakan. Ehehe. *saya salah satu fans nya, btw*. Novel mbak Windry yang pertama saya baca judulnya Orange tapi belum sempet saya review. Hehe. Sumpah demi apapun, saya sukkkaaaa banget sama Montase. Sampe saya jadi kepingin ikutan bikin film *lebay*.

Novel ini diceritakan dari sudut pandang Rayyi. Jadi apapun celetukan Rayyi dalam pikirannya bener-bener pikiran cowok tapi dikemas dengan bahasa yang lebih baku dan sopan. Dan itu bikin saya suka ketawa ngakak bacanya. Karakter Rayyi adalah seseorang dengan mimpi yang tinggi dengan pemikiran sangat idealis. Mbak Windry membuat saya benar-benar bisa menyelami apa yang dipikirkan Rayyi dengan gaya bahasanya. Dari mulai Rayyi jatuh cinta pada film dokumenter, kenangan akan mama nya, kebenciannya pada film produksi papanya yang ia pikir adalah film kacangan yang mampu merusak cara pandang masyarakat, saat Rayyi membenci kekalahannya, saat Rayyi mulai tertarik pada Haru, bagaimana Rayyi mampu menyimpan kenangan yang bisa membangun mimpi buruknya. Semuanya!

Karakter Haru adalah seseorang dengan tingkat kecerobohan akut. Ia sering sekali menjatuhkan barangnya dan lupa dengan barang-barangnya. Bahkan saking cerobohnya, ia sering terlambat masuk perkuliahan akibat ia sulit untuk mengingat lokasi kelas yang seharusnya ia datangi. Apalagi Haru adalah tipe orang yang sangat ekspresif. Dan ekspresi wajahnya digambarkan sangat lucu. Tapi, kecerobohan itulah yang membuat Rayyi yang awalnya seperti membenci Haru, jadi merasa kalau Haru menggemaskan. Walaupun Haru sangat ekspresif, dia juga sangat pintar untuk menyembunyikan perasaannya.

Ngomong-ngomong dengan dunia Rayyi dan Haru, saya sama sekali nggak mengerti tentang dunia perfilman. Siapa itu Dziga Vertov, Seperti apa film dengan judul The Man With A Movie Camera. Dan berbagai macam teknik-teknik dalam membuat film seperti yang dijelaskan dalam Montase. Nah, dengan judulnya pun, saya masih asing dengan istilah yang satu itu. Hehe. Denger-denger, tulisan judulnya di cover itu tulisan tangan lhoo. Wow. Memang, Gagas nggak pernah gagal bikin cover yang menarik.

Dan Montase ini betul-betul mengaduk-aduk mood saya dalam sekejap mata. Hehe. Sampai ada bagian dimana saya nggak bisa lagi nahan air mata karena rasanya begitu sakit. Ya, penuturan novel ini membuat saya ikut sedih atas kesedihan tokohnya dan bikin saya bisa ketawa ngakak dengan kekonyolan tokoh-tokohnya. Dan settingnya juga di tempat yang mudah untuk saya bayangkan. Rayyi punya banyak julukan untuk Haru.. Gadis berkepala angin, boneka Kokeshi, gadis liliput, masih ada lagi deh.. saya lupa. Hehe. By the waaay, saya suka dengan temanya.. Tentang MIMPI. Ada beberapa dialognya yang ngena banget untuk kamu yang menjunjung tinggi mimpi kamu, berusaha mewujudkannya, tapi entah kenapa belum ada jalan yang bisa memudahkan langkah.
"Selalu ada impian yang lebih besar dari impian lain kan? Bagimu, impian itu adalah menjadi pembuat film dokumenter. Bagiku, Okaasan dan Otousan adalah yang paling penting. Aku bisa melepaskan apa saja asalkan itu bisa membuat mereka tersenyum." Haru berkata panjang lebar. "Kita tidak hidup selamanya, Rayyi. Karena itu, jangan buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak kita inginkan"
 Overall, saya suka banget sama Montase. Keren banget dibandingin sama novel Mbak Windry sebelumnya. Empat jempol untuk Mbak Windryyy... Yeeeeaah. :)
Saya tunggu karya selanjutnya yaa.

Cheers,

Lina


No comments: